INFO.ID - Sesaat setelah
merdeka, Indonesia yang baru lahir mendapat cobaan bertubi-tubi. Pemberontakan
pecah di mana-mana, tentara sekutu yang diboncengi Belanda kembali menancapkan
kuku penjajahannya. Di tengah kekacauan itulah, rantai komando perang lahir
dari Yogyakarta.
Suara bom pesawat Belanda mengagetkan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih. Anak buahnya mencoba menenangkan Sudirman, "Itu hanya anak-anak yang sedang latihan perang."
Suara bom pesawat Belanda mengagetkan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih. Anak buahnya mencoba menenangkan Sudirman, "Itu hanya anak-anak yang sedang latihan perang."
Sudirman baru saja kehilangan satu paru-parunya di meja operasi. Rasa
sakit masih menyiksa. Akan tetapi, instingnya sebagai ahli taktik perang
berkata, ada yang tidak beres. Sadar negara dalam keadaan genting, Sudirman
menemui Presiden Soekarno di Istana Gedung Agung, Yogyakarta.
Di hadapan Presiden Soekarno, Jendral Sudirman minta izin memulai gerilya
untuk menghancurkan mental Belanda.
Kala itu, Soekarno melarang, "Kang Mas sedang sakit, lebih baik tinggal di
kota".
Sudirman menyahut, "Yang sakit Sudirman, Panglima
Besar tidak pernah sakit."
Jawaban Jendral Sudirman sebelum memulai perang gerilya itu kini
dituliskan pada mural berlatar belakang bendera Merah Putih di Museum Pusat TNI
Angkatan Darat Dharma Wiratama. Menurut Kepala Seksi Pemandu dan Pameran Museum
Mayor Riko Sahani, bangunan museum ini dulunya merupakan markas besar Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) saat perang kemerdekaan.
Keterbatasan fisik tak menyurutkan niat Sudirman memimpin perang gerilya.
Bertolak dari rumah dinasnya di kawasan Bintaran yang kini jadi Museum Panglima
Besar Jenderal Sudirman, satu kompi pasukan (80 tentara) dibawa. Demi keamanan,
keluarganya dititipkan di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Selama perang gerilya Desember 1948-10 Juli 1949,
Sudirman juga memegang rantai komando untuk serangan umum 1 Maret 1949 yang
dipimpin Letnan Kolonel Soeharto. Melalui serangan umum, tentara berhasil
menguasai kembali Yogyakarta selama enam jam.
Dunia menyaksikan, Indonesia
masih ada dan PBB mendesak Belanda membuka jalan perundingan melalui Konferensi
Meja Bundar yang berisi pengakuan terhadap kedaulatan Indonesia.
Meski tidak
banyak meninggalkan catatan di wilayah yang dilintasi seperti di Bantul,
perjalanan gerilya Sudirman menjadi spirit tersendiri bagi masyarakat.
"Semangat dan kegigihannya tetap berjuang meski sakit seharusnya terus
diteladani," ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bantul Suyoto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar